Saya memang bukan Orang Batak, bahkan menginjak Tanah Tapanuli pun belum pernah, akan tetapi teman dan sobat dari daerah itu cukup banyak, dari yang muda sampai yang usia lanjut. Dari para sobat Batak itulah penulis pernah mendengar penjelasan dalam suatu obrolan mengenai Si Gale-gale. Yang penulis peroleh dari mereka pasti baru sebagian kecil dari keseluruhan makna yang terkandung dalam seni Si Gale-gale. Namun yang sedikit itu ingin disampaikan, teriring berbagai harapan.
Gambaran lahiriahnya. Si Gale-gale adalah seperangkat patung dan topeng yang bisa dimainkan. Dalam wujud seperti itulah kita bisa menamakannya sebagai seni wayang
Sanibil menggerak-gerakkan boneka dalam
Intisari ajaran atau wejangan Sisingamangaraja tersirat dan sekaligus tersirat dalam ungkapan Dalihan na Tolu. Kata dafthan, rasanya mirip dengan kata dalih dalam bahasa Indonesia, yang secara etimologis dekat dengan bahasa Jawa Galih, yang di samping punya arti alasan, juga mengandung makna : dasar, inti, inti persoalan, dan juga asas. Dengan demikian kata mutiara dalam bahasa Batak itu dapat diartikan sebagai Dasar atau Asas yang Tiga. Bahkan kadang-kadang orang Batak sendiri menterjemahkannya secara sederhana: Dalihan na Tolu artinya : Terungku atau Penyangga yang Tiga.
Terungku yang Tiga ialah gambaran jiwa dan semangat kekerabatan dalam masyarakat Batak, di mana unsur kekerabatannya terdiri dari tiga kelompok, yaitu: Dongan sa Butuha, Hulahula, dan Boru. Yang pertama berarti, kawan seperut atau saudara kandung.
Yang kedua: seluruh keluarga pihak istri.
Yang ketiga: seluruh keluarga yang beristrikan keturunan saudara sekandung.
Ketiga unsur itu tidak boleh bersilang-sengketa. Harus bersatu-padu seperti yang tercermin dalam ungkapan-ungkapan:
(1) Manot mardongan sa Butuha, yang artinya: Jangan sembrono terhadap saudara sekandung.
(2) Somba marhula-hula, yang artinya: Sembahlah, atau hormatilah selalu keluarga pihak istri.
(3) Elek marboru, yang artinya: Sayangilah saudara perempuan.
Sampai di sini mungkin pembaca segera bertanya: bagaimana hubungan antara mereka yang tidak terikat dalam Dalihan na Tolu?
Atau barangkali malahan ada yang berpendapat, bahwa masyarakat Batak itu egois, terbukti cuma yang berkait dalam Dalihan na Tolu saja yang dipikirkan.
Pertanyaan tersebut akan mendapat jawaban, sedangkan yang berupa tanggapan akan mendapat sanggahan. Jawaban atau sanggahan isinya sama, ialah berupa keterangan mengenai hubungan antara Dalihan na Tolu dengan masyarakat luar.
Wayang Batak Si Gale-gale yang mengungkapkan wejangan Sisingamangaraja tidak mewariskan amanat agar Dalihan na Tolu menutup diri terhadap kelompok atau masyarakat luar, yang di dalam Bahasa Batak disebut Ale-ale.
Tali pengikat antara Dalihan na Tolu dengan Ale-ale adalah sebuah semboyan sahata saoloan, yang secara haraflah
berarti : sekata sehaluan, selasekata. Jika arti harafiah itu dikembangkan maknanya di dalam kehidupan bermasyarakat, maka sahata saoloan tak lain adalah perwujudan demokrasi ala
Dalam Adat Batak tidak ada orang miskin. Semboyan tersebut merupakan penutup pesan Si Gale-gale kepada penonton umumnya dan Putra Batak khususnya. Maksudnya, tak seorang pun boleh miskin, tak seorang pun harus mengalami kesulitan, tak seorang pun boleh tinggal diam melihat kesulitan orang lain. Yang kuat harus membantu yang lemah, yang kaya membantu yang miskin. Inilah kegotongroyongan. pesan terakhir Si Gale-gale. Pesan yang bisa juga dikumandangkan di puncak pegunungan Dieng, atau di puncak Jayawijaya dan Lembah Balim, di Dili, di Palangkaraya dan di mana saja di seluruh Nusantara.