Rabu, 25 November 2009

Si Gale - Gale

Saya memang bukan Orang Batak, bahkan menginjak Tanah Tapanuli pun belum pernah, akan tetapi teman dan sobat dari daerah itu cukup banyak, dari yang muda sampai yang usia lanjut. Dari para sobat Batak itulah penulis pernah mendengar penjelasan dalam suatu obrolan mengenai Si Gale-gale. Yang penulis peroleh dari mereka pasti baru sebagian kecil dari keseluruhan makna yang terkandung dalam seni Si Gale-gale. Namun yang sedikit itu ingin disampaikan, teriring berbagai harapan.

Gambaran lahiriahnya. Si Gale-gale adalah seperangkat patung dan topeng yang bisa dimainkan. Dalam wujud seperti itulah kita bisa menamakannya sebagai seni wayang gaya Batak. Ada wayang tentulah ada dalangnya. Memang Si Gale-gale dimainkan oleh seorang dalang dengan gerak-gerak tertentu. Seni gerak, atau yang lebih lazim disebut seni tari wayang Si Gale-gale dikenal sebagai tari Tortor.
Sanibil menggerak-gerakkan boneka dalam gaya tari Tortor. Ki Dalang bercerita. Dalam gerak dan cerita yang terpadu itulah dalang menggambarkan dan memaparkan jiwa dan kepribadian Putra Batak yang dilandasi ajaran Sisingamangaraja. Dengan perkataan lain Si Galegale itu memegang peranan sebagai wahana untuk mengungkapkan kembali, juga menyampaikan kembali, dan sekaligus, melestarikan ajaran Sisingamangaraja agar tetap diingat, dihayati, dan diamalkan oleh putra Tapanuli di mana pun mercka berada.

Intisari ajaran atau wejangan Sisingamangaraja tersirat dan sekaligus tersirat dalam ungkapan Dalihan na Tolu. Kata dafthan, rasanya mirip dengan kata dalih dalam bahasa Indonesia, yang secara etimologis dekat dengan bahasa Jawa Galih, yang di samping punya arti alasan, juga mengandung makna : dasar, inti, inti persoalan, dan juga asas. Dengan demikian kata mutiara dalam bahasa Batak itu dapat diartikan sebagai Dasar atau Asas yang Tiga. Bahkan kadang-kadang orang Batak sendiri menterjemahkannya secara sederhana: Dalihan na Tolu artinya : Terungku atau Penyangga yang Tiga.

Terungku yang Tiga ialah gambaran jiwa dan semangat kekerabatan dalam masyarakat Batak, di mana unsur kekerabatannya terdiri dari tiga kelompok, yaitu: Dongan sa Butuha, Hulahula, dan Boru. Yang pertama berarti, kawan seperut atau saudara kandung.
Yang kedua: seluruh keluarga pihak istri.
Yang ketiga: seluruh keluarga yang beristrikan keturunan saudara sekandung.
Ketiga unsur itu tidak boleh bersilang-sengketa. Harus bersatu-padu seperti yang tercermin dalam ungkapan-ungkapan:

(1) Manot mardongan sa Butuha, yang artinya: Jangan sembrono terhadap saudara sekandung.

(2) Somba marhula-hula, yang artinya: Sembahlah, atau hormatilah selalu keluarga pihak istri.

(3) Elek marboru, yang artinya: Sayangilah saudara perempuan.

Sampai di sini mungkin pembaca segera bertanya: bagaimana hubungan antara mereka yang tidak terikat dalam Dalihan na Tolu?
Atau barangkali malahan ada yang berpendapat, bahwa masyarakat Batak itu egois, terbukti cuma yang berkait dalam Dalihan na Tolu saja yang dipikirkan.

Pertanyaan tersebut akan mendapat jawaban, sedangkan yang berupa tanggapan akan mendapat sanggahan. Jawaban atau sanggahan isinya sama, ialah berupa keterangan mengenai hubungan antara Dalihan na Tolu dengan masyarakat luar.

Wayang Batak Si Gale-gale yang mengungkapkan wejangan Sisingamangaraja tidak mewariskan amanat agar Dalihan na Tolu menutup diri terhadap kelompok atau masyarakat luar, yang di dalam Bahasa Batak disebut Ale-ale.

Tali pengikat antara Dalihan na Tolu dengan Ale-ale adalah sebuah semboyan sahata saoloan, yang secara haraflah
berarti : sekata sehaluan, selasekata. Jika arti harafiah itu dikembangkan maknanya di dalam kehidupan bermasyarakat, maka sahata saoloan tak lain adalah perwujudan demokrasi ala Indonesia, yang secara umum sudah sangat dikenal melalui ungkapan yang telah mendapat pengesahan, yakni: Musyawarah untuk Mufakat.

Dalam Adat Batak tidak ada orang miskin. Semboyan tersebut merupakan penutup pesan Si Gale-gale kepada penonton umumnya dan Putra Batak khususnya. Maksudnya, tak seorang pun boleh miskin, tak seorang pun harus mengalami kesulitan, tak seorang pun boleh tinggal diam melihat kesulitan orang lain. Yang kuat harus membantu yang lemah, yang kaya membantu yang miskin. Inilah kegotongroyongan. pesan terakhir Si Gale-gale. Pesan yang bisa juga dikumandangkan di puncak pegunungan Dieng, atau di puncak Jayawijaya dan Lembah Balim, di Dili, di Palangkaraya dan di mana saja di seluruh Nusantara.

Kesenian Gandrung

Kesenian Gandrung merupakan ibu dari kesenian lainnya yang ada di Banyumas. Pada usia 10 tahun para wanita mulai menarikannya. Tarian Gandrungan juga biasanya dibawakan oleh penari pria atu biasa disebut Gandrung Lanang, para lelaki itu menari menggunakan pakaian tarian wanita pada umumnya.

Akan tetapi kesenian Gandrung saat ini sulit untuk kita dapat jumpai, kesenian ini juga hampir punah. Di Banyumas sendiri tariann Gandrungan juga sulit untuk dapat kita jumpai. Wlaupun sebenarnya tarian ini merupakan salah satu kesenian yang dulunya banyak di gemari olah masyarakat banyumas pada umumnya. Akan tetapi semakin berkembangnya jaman kesenian ini juga dikatagorikan sebagai tarian yang hanya menjual kemolekan dari tubuh para penarinnya. Sehingga tidak banyak generasi muda yang ingin melestarikannya.

Kesenian Gandrung berfungsi sebagai tarian pergaulan sama halnya seperti tarian lainnya. Akan tetapi Gandrungan mempunyai ciri tersendiri dari tata letak gerakanya, dan alat musik untuk mengiringinya.

Ada tiga tahap dalam Tarian Gndrungan :

1. Tahap pertama adalah Jejer Gandrung pada tahap ini penari menarikannya sendri dengan lagu yang dibawkannya ( lagu podo Nonton ) dan diiringi oleh alt musik tradisionalnya.

2. Tahap kedua adalah Pacu Gandrung pada saat ini penari harus melayani tamu satu persatu. Disinilah para penari harus sabar dalam menghadapi para tamu. Karen kadang kala ada juga para tamu yang menunjukkan norma yang tidak wajar kepda penari. Dan ini juga merupakan salah satu sebab para pemuda enggan untuk melestarikan tari gandrungan ini.

3. Tahap ketiga adalah Sublek Sungkem dalam tahap ini penari membawakan tarian yang dibawakan dengan maksud permohonan maaf atas tarian yang telah dibawakannya semalaman itu.

Untuk menghindari kepunahan dalam Kesenian Gandrungan ini banyak para seniman yang melestarikannya dengan mendirikan sekolah kursus untuk tarian Gandrungan dan tarian dari Banyumas yang lainnnya dalam yang sifatnya formal maupun biasa.

Anak Hilang

Judul Film : Anak Hilang

Disutradarai oleh : Slamet Raharjo

Baco adalah seorang kepala keluarga ia tamatan Sekolah Rakyat (SR). Ia sangat menyayangi istrinya yang bernama Sumini. Sumini bekerja di sabuah percetakan koran, namun nasib berkata lain saat hendak menyebrang jalan ia tertabrak bis dan akhirnya meninggal dunia. Dan ia maninggalkan empat orang anak. Saat itulah kehidupan keluargannya menjadi berantakan. Basri adalah anak tertua, ia mempunnyai keinginan yang sangat keras sampai akhirnya ia lari dari rumah dan meninggalkan sekolahnya demi mendapatkan uang. Ia pun rela maenjadi anggota seniman jalanan. Akan tetapi sang ayah menyangka bahwa ia hilang, dan akhirnya Baco sang ayahpun segera melaporkannya kepada pihak berwajib, dan mendatangkan sebuah percetakan koran untuk membuat iklan tentang anaknya yang hilang. Setelah beberapa lama kemudian Basri pun kembali pulang. Dengan diantar oleh salah satu anggota dari seniman jalanan yang menerimanya sebagai anggota.Masalah yang dihadapi Baco tidak hanya itu saja ia juga harus meninggalkan tempat tingalnya itu untuk pindah ketempat yang lebih baik lagi.

Dalam film ini banyak pelajaran yang bisa saya ambil, tentang kehidupan suatu keluarga yang tidak mampu atau miskin yang tinggal dipinggiran laut yang sangat kumuh. Di film ini juga banyak mempelajari tentang arti kehidupan,cinta, kasih sayang, tanggung jawab, penderitaan, serta harapan sebuah keluarga.

- Tanggung Jawab

Tanggung jawab oleh seorang Bapak (Baco) dalam Film tersebut belum dapat dikatakan sebagai bapak yang bertanggu jawab. Karena ia tidak dapat menafkahkan keluargannya sendiri sampai akhirnya sang istripun juga ikut mencari nafakah untuk keluarga. Ia juga belum bisa menyediakan tempat tinggal yang layak untuk keluarganya.

tanggung jawab si Basri dalam dirinya sendri juga belum dapat dikatakan asebagai tanggung jawab karena ia pergi dari rumah, ia menganggab bahwa lingkungannya tidak layak untuk di tempati.

- Manusia dan Penderitaan

Dalam kisah tersebut penderitaan yang dialami sebuah keluarga memang sangat menyedihkan ketika seorang ibu yang tertabrak lari. Dan meninggalakan seorang anak yang masih kecil dan membutuhkan kasih sayangnya. Dan kelurga itu juga harus tinggal di pinggiran pantai yang sangat kumuh. Itu merupakn sebuah pendaritaan ynag mereka harus hadapi.

- Manusia Dan Cinta

Saat seorang ayah sangat mencintai anaknya senhingga ia membela-belakan dirinya untuk mencari anaknya dengan melaporkan kepolisi. Dan mendatangi sebuah percetakan koran agar berita tentang anaknya dapat di muat di koran tersebut. Supaya sang anak cepaat kembali pulang.

- Harapan

seorang anak ingin kehidupannya lebih baik lagi dengan mencari uang,akan tetapi ditentang oleh sang ibu. Dengan cara pergi dari rumah ia pun bekerja sebagai seniman jalanan. Dan berharap kehidupannya dapat lebih layak lagi.

Geisha

Geisha, Jugun Ianfu, kekerasan seksual, masyarakat agamis

Gagasan akan tema ini muncul setelah melihat adanya beberapa peristiwa yang berhubungan dengan perilaku bangsa Jepang, khususnya yang berhubungan dengan wanita. Peristiwa atau fenomena dimaksud adalah jugun ianfu yang menghebohkan dunia dan menjadi trade mark bangsa Jepang, budaya geisha yang juga khas Jepang dan “budaya” pelecehan seksual terhadap wanita. Sedangkan di sisi lain, bangsa Jepang sering dianggap sebagai bangsa yang religius. Hal ini dapat dilihat dari adanya keyakinan bangsa Jepang bahwa bekerja merupakan satu bentuk manifestasi peribadatan. Di samping itu penampilan cultural bangsa Jepang dengan banyaknya festifal keagamaan memberi gambaran sesungguhnya ungkapan-ungkapan religiusitas bangsa Jepang sangat kental. Bangsa Jepang sangat menyukai acara-acara ziarah dan perayaanhari raya (Benedict, 1982:97) Singer berpendapat bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang matang dari segi budaya (Singer,1990:94). Hal ini dapat dilihat pada kematangannya mengemas budaya sendiri dan budaya luar menjadi budaya yang khas Jepang. Orang Jepang menunjukkan perilaku sinkretik dengan mengkombinasikan beberapa ritual keagamaan dalam hidup untuk tujuan-tujuan tertentu (Earhart, 1984:22). Agama atau secara lebih umum religi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perkembangan Bangsa Jepang dan tentunya mempengaruhi perilaku masyarakat secara keseluruhan. Menurut FukuzawaYukichi (1985:220) agama dan religi merupakan sumber nilai bagi kehidupanmasyarakat Jepang.
Bila dikatakan bahwa agama lazimnya akan melahirkan budaya agamis pada suatu masyarakat (Brede Krentensen dalam Musa Asy’ari dkk, 1993:56) maka mungkin tesis ini pun harus diterjemahkan. Di Jepang dikenal banyak upacara dan festival keagamaan. Boleh jadi ini salah satu bagian dari kategori agamis. Dalam arti yang lebih rohaniah mungkin agama akan memberi arti dalam menuntun masyarakat untuk hidup yang lebih beradab, meskipun istilah beradab tidak selalu memberi pengertian standar. Kadang suatu hal yang dianggap beradab dalam suatu budaya dihargai berbeda dalam budaya lain. Ekstrimnya lagi, suatu hal yang dilarang dalam budaya tertentu mungkin tidak dilarang dalam budaya lain. Yang dilarang di dalam kepercayaan atau religi yang satu tidak atau bahkan dianjurkan dalam religi yang lain. Kegiatan ritual yang bernilai dalam religi tertentu mungkin ditafsirkan sebagai kejahatan dalam tradisi religi yang lain. Dalam masyarakat Jepang yang dianggap budayanya telah matang sebagaimana di atas, dengan jalin-menjalinnya agama-agama di Jepang dengan budaya masyarakat (Inazo Nitobe, 1900:7-10) maka ironis bila ternyata bangsa Jepang menunjukkan perilaku yang menunjukkan moralitas rendah terutama dalam perlakuannya pada wanita. Oleh karena itu, maka dimungkinkan ada satu penyebab sehingga muncul dua hal yang bertentangan tersebut. Yad Mulyadi(1997:58) menengarai bahwa aspek dominan yang menentukan pola tindakan manusia terhadap lingkungan salah satunya adalah religi. Oleh karenanya maka sangat mungkin ada unsur-unsur dalam religi yang tumbuh di Jepang mewarnai fenomena masyarakat yang kemudian muncul. Masalahnya kemudian, mengapa yang muncul justru hal negatif yang lazimnya tidak mencirikan moralitas masyarakat religius itu sendiri. Atas dasar dua sisi factual dan teoritis di atas maka tampak bahwa terdapat semacam logika yang kontradiktif. Lazimnya, masyarakat yang cenderung dipahami sebagai bersifat religius akan menampilkan karakter masyarakat yang cenderung memenuhi standar moralitas religius yang menempel padanya. Sistem keyakinan pada dasarnya akan menjadi sistem nilai kebudayaan, menjadi pendorong, penggerak dan pengontrol terhadap anggota individu dan masyarakat agar berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya (Robertson, 1998:vi-viii). Pada bangsa Jepang (istilah bangsa menunjukkan Jepang sebagai kelompok manusia dengan karakter tertentu), tesis tersebut terkesan bertolak belakang. Atas dasar logika berpikir ini, maka dalam artikel ini akan dibahas kemungkinan teoritis yang mendasari hal tersebut.

Geisha merupakan bagian dari sejarah dan kebudayaan Jepang. Geisha sebagai bagian dari sejarah dan kebudayaan Jepang cukup fenomenal. Di satu sisi menggambarkan betapa anggun dan berbudayanya wanita Jepang tetapi disi lain memunculkan gambaran negatif wanita Jepang itu sendiri. Geisha pernah diteliti antaralain oleh Ida Anggraeni Ananda (1994). Kajian ini menyimpulkan bahwa sesungguhnya geisha sebagai agen seni tidak sama dengan wanita penghibur yang lain. Seorang geisha asli adalah wanita Jepang
yang berbakat dan berkemampuan lebih dalam bidang seni, moral dan intelektual dengan aktivitas yang terpola dan terkonsep. Pandangan bahwa geisha adalah wanita penghibur adalah salah karena geisha menghibur melalui seni dan penampilan keduanya berbeda. Geisha di masa lampau di samping berfungsi menghibur para pria dengan menampilkan banyak seni dan juga menjadi teman bercakap-cakap. Hal ini terjadi karena para istri masa lampau tidaklah dianggap sebagai makhluk sejajar yang dapat menjadi teman bicara bagi suaminya. Ketika konsep kesetaraan mulai memasuki pemikiran orang Jepang, geisha menjadi langka dan hanya ditampilkan pada saat-saat tertentu. Sebagai kesimpulan, kajian ini memandang positif potret seorang geisha. Meskipun demikian, yang ideal dan bernilai pada diri geisha dapat saja bergeser pada tataran permukaan saja sehingga yang berkembang di masyarakat, geisha adalah juga wanita penghibur seksual. Mungkin benar bila dikatakan tidak ada yang menjamin apakah seorang geisha yang hidup dalam dunia hiburan dengan jaman yang semakin berubah akan tetap kukuh dalam kegeishaannya yang asli. Buku Memoar Seorang Geisha dari Golden (2002) menggambarkan bahwa geisha tidak hanya seperti yang ideal di atas. Seorang geisha harus mengorbankan harga dirinya dalam hidup sebagai penghibur. Satu kemungkinan, geisha pada jamannya memang figur ideal dan dibutuhkan masyarakat karena konsepnya yang masih murni (ideal). Akan tetapi setelah berkembang di masyarakat akan muncul semacam tingkatan dalam konteks nilai wanita tersebut sebagai penghibur. Oleh karena itu, dimungkinkan ada geisha mulai dari yang berkualifikasi dalam konsep asli, murni geisha sebagaimana ideal di jamannya, sampai yang berkualifikasi sejenis wanita penghibur. Meskipun demikian dapat disimpulkan profesi mereka sama-sama berada dalam peran sebagai penghibur para pria. Oleh karenanya, tidak aneh sinyalemen Kartini-Kartono yang mengatakan bahwa ada kecenderungan umum kaum wanita banyak dijadikan budak nafsu biologis para pria, baik dalam fungsi prokreatif (melahirkan anak) maupun dalam fungsi “hiburan” (Kartini-Kartono, 1986:2). Jugun ianfu, merupakan salah satu tema yang menarik perhatian di antara sekian banyak tema yang mengganggu rasa keadilan dan perghargaan harkat kemanusiaan khususnya wanita. Fenomena ini telah meninggalkan trauma sosial yang dalam dan melukai kelompok bangsa lain (Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi, 1998). Jugun ianfu adalah sebutan untuk perempuan-perempuan Asia, khususnya, yang direkrut oleh pemerintah Jepang pada masa pendudukan tentara Jepang sekitar Perang Dunia II dan dijadikan budak nafsu seksual bala tentara Jepang (confort women). Perempuan-perempuan ini direkrut pada usia yang
sangat muda dengan dijanjikan untuk meneruskan belajar di negeri Jepang atau dengan alasan untuk menjadi penyanyi atau penari. Secara sederhana, perempuan-perempuan belia ini terbuai oleh iming-iming pemerintah Jepang atau dalam kasus tertentu dipaksa oleh orang tua mereka yang pada waktu itu harus tunduk pada pemerintah pendudukan tentara Jepang. Tentara pendudukan yang memaksa daerah pendudukan untuk mengikuti aturan yang dibuat penjajah itu sudah biasa dilakukan. Penduduk pribumi yang takut terhadap penjajah itu juga biasa. Penjajah memang pada dasarnya ingin mengeruk segala keuntungan, biasanya hasil bumi, dari negara yang dijajah. Oleh karenanya maka tindakan-tindakan pemaksaan sering dilakukan untuk mencapai tujuannya. Lebih dari itu, arogansi dan superioritas bangsa penjajah tidak hanya berimbas pada pemaksaan untuk tujuan material. Karena bangsa penjajah -kebanyakan tentara – tidak banyak membawa para wanita istri-istri mereka sedangkan kegiatan seksual merupakan salah satu kebutuhan manusia, maka sangat mungkin di daerah pendudukan ditemukan tentara yang memanfaatkan wanita pribumi untuk dijadikan istri, memanfatkan rumah pelacuran, atau
bahkan melakukan pemaksaan terhadap wanita untuk pelampiasan nafsu. Kondisi daerah konflik dikatakan rentan terhadap tindak kekerasan seksual, perkosaan dan sejenisnya (Wiwik Setyawati dalam Achie Sudiarti Luluhima, 2000:169). Ditemukan adanya banyak kasus tentara pendudukan melakukan perkosaan terhadap wanita pribumi. Korban perkosaan oleh tentara atau sipil pada wanita pada masa perang terjadi sepanjang sejarah. Bahkan hampir keseluruhan keberadaan tentara di daerah konflik diwarnai noda perkosaan . Begitu pula yang terjadi pada pemerintah pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Hanya saja yang terjadi, tentara Jepang bahkan mengoperasikan dan mengatur keseluruhan kebutuhan akan hal tersebut.